Tuesday 25 December 2018

Polemik Pilkades Kateng


Di bagian selatan Pulau Lombok, tepatnya di Desa Kateng, ketegangan sedang terjadi sejak dua bulan terakhir. Perkaranya adalah hasil pemilihan kepala desa yang tidak memuaskan semua orang, terutama yang jagoannya kalah. Ke lima kandidat memiliki pendukung fanatiknya masing-masing.

Seperti biasa, menjelang pemilihan banyak desas-desus beredar. Tersebar kabar tentang calon A akan membuat kebijakan seperti ini, calon B seperti itu, dan seterusnya. Ibarat bola salju, desas-desus itu terus menggelinding dan membesar. Dampaknya antar warga saling curiga kemudian berujung fitnah.

Merumahkan Rumah Penyair 5



Sore itu cuaca cerah. Sekelompok orang sudah terlihat di pelataran warung Jejak Kopi. Beberapa di antara mereka adalah panitia yang sedang menyiapkan keperluan peluncuran dan diskusi antologi buku Rumah Penyair 5. Peluncuran buku ini disertai diskusi publik bertema Jejak Sua.

Jam sudah memeluk angka 15.40 ketika saya tiba. Tapi belum ada tanda-tanda acara akan segera dimulai. Padahal, di pamflet yang tersebar acara berlangsung pukul 15.00 WIB. Tapi saya tidak begitu heran sih, kondisi seperti sering saya jumpai.

Tidak lama setelah saya datang, peserta yang hadir semakin bertambah. Dari yang lihat, sebagian besar dari mereka adalah pelanggan setia Jejak Kopi ketika masih beroperasi. Barangkali mereka rindu sore-sore menyeruput kopi di warung ini.

Friday 7 December 2018

Karena Tempat Tidur Bukan Monopoli Kos-Kosan

Cara nyaman tidur di warung kopi

Seorang kawan satu organisasi mengirim foto di grup alumni. Dalam hitungan detik foto itu menggiring memori saya menuju masa tiga tahun silam. Masa dimana tempat tidur bukan hanya monopoli kos-kosan. Di foto itu terdapat seorang mahasiswa gondrong berbaring di pojok warung kopi sambil mengenakan helm dan kacamata. Yup, manusia dalam foto itu adalah saya.

Di rentang tahun 2015-2016, warung kopi adalah kos kedua saya. Di tempat ini, segala aktifitas domestik saya terpenuhi. Mulai dari mandi, berak, makan, minum bahkan tidur. Maka tidaklah heran jika hampir semua karyawan dan pelanggan warung kopi mengenali saya. Para karyawan juga sudah hafal dengan kebiasaan saya. Jika jam menunjukkan warung harus tutup dan saya masih bertahan di situ, itu berarti saya akan bermalam. Lampu-lampu dipadamkan. Tinggal saya seorang diri terbaring beralaskan tas berisi buku-buku.

Monday 3 December 2018

Disabilitas dan Jokowi

Di postingan sebelumnya saya berjanji akan membuat catatan lanjutan dari perayaan Hari Disabilitas Internasional 2018. So, inilah lanjutannya. 

Kegiatan yang berlangsung di parkiran Summarecon Mall Bekasi berjalan selama dua hari. Hari pertama diisi dengan pemukulan gong oleh Menteri Sosial, Agung Gumiwang Kartasasmita, sebagai bentuk simbolis pembukaan acara. Pasca pembukaan acara, Menteri beserta jajarannya mengelilingi stand yang tersedia. Kalau tidak salah total stand sebanyak 60. Stand-stand tersebut diisi oleh organisasi disabilitas, LSM, dan lembaga pemerintah. Komoditas yang dipamerkan tidak jauh dari disabilitas. Mulai dari makanan yang dibuat oleh penyandang disabilitas, aksesoris, busana, alat bantu, peta braile hingga Alquran braile.

Sunday 2 December 2018

Selamat Jalan Bapaknya Adit

Kabar duka menyelimuti keluarga besar Jejak Imaji. Siang tadi Adit mengirim kabar lelayu di WA grup, "Kawan-kawan sekalian, mohon doa supaya bapak saya mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT. Alfatihah."

Pesan singkat tersebut membuat saya dan teman yang lain kaget. Saya tidak menyangka beliau berpulang secepat itu. Padahal minggu lalu saya bertemu dengannya di acara wisuda. Beliau tampak sehat tanpa kurang suatu apapun. Senyumnya merekah sekali menyaksikan anaknya meraih gelar sarjana. 

Rencana Tuhan memang tidak ada yang tahu.

Jogja-Bekasi


Dari sekian banyak moda transportasi, kereta api adalah yang paling saya senangi.

Malam ini kereta Senja Solo Utama mengangkut saya dari Stasiun Tugu Yogyakarta menuju Bekasi. Dilihat dari tiket, perjalanan ini akan meminum waktu delapan jam tiga puluh menit. Ini sama dengan satu hari kerja.

Kereta bergerak ke barat sesuai jadwal: 18.40 WIB. Jadwal keberangkatan sesuai dengan yang tertera di tiket. Tidak seperti pengalaman di tahun-tahun sebelumnya yang biasanya ngaret. Mungkin karena ini kereta kelas eksekutif kali ya. Jadi, tepat waktu adalah koentji. 

Thursday 15 November 2018

Merayakan HAM di Wonosobo


Awal mula adalah iseng belaka.

Saya mendapati pamflet pendaftaran peserta fellowship Festival HAM 2018 dari rekan kerja. Dia menyodorkan pamflet digital itu dengan semangat. Dia mengajak saya mendaftar dan memenuhi syarat yang tertera. Saya merespon ajakan tersebut biasa saja, bukan karena saya tidak menyukai isu HAM, tapi mengikuti fellowship terlebih festival sudah saya lakukan sejak awal berstatus mahasiswa. Menjelang akhir kelulusan kuliah saya memang sengaja mengurangi kegiatan sejenis itu. Cukuplah waktu empat tahun sebelumnya saya gunakan menjadi aktivis workshop. Haha.

Akan tetapi, seusai makan siang saya melihat kembali pamflet Festival HAM. Jam makan siang kerap membuat saya gabut dan browsing tidak jelas. Daripada geser kursor tidak jelas, mending saya daftar dan mengisi syarat yang diminta, pikirku. Dalam waktu 30 menit, syarat menulis alasan mendaftar yang panjangnya kira-kira 2000 kata tersebut selesai. Saya kirim kemudian selesai. Saya tidak berharap banyak dari tulisan yang saya buat mendadak dan dalam waktu singkat itu. Saya bahkan lupa dengan apa yang saya tulis.

Dua minggu berselang, nomor tidak dikenali masuk ke hape saya. Suara di seberang mengabarkan bahwa saya lolos seleksi dan masuk sebagai peserta fellowship Festival HAM yang berlangsung pada 13-15 November di Wonosobo. Saya heran sambil tersenyum dengan kabar itu. Bingung apakah harus bahagia atau sedih. Tapi karena festival ini berisi banyak diskusi panel dan pleno tentang HAM saya tentu senang. Kapan lagi menghadiri acara keren yang segala akomodasinya ditanggung, batinku. Kabar baik itu saya anggap sebagai rejeki anak soleh. Hehe.